Perjalanan satu jam Jakarta-Solo di angkasa serasa singkat untuk ditempuh
dengan burung besi itu. Penuh syukur dapat menapakkan kaki di bumi Solo dengan moda
yang tak biasanya. Aku terlalu sering melakukan perjalanan dengan bus, dan
terkadang naik kereta api. Menikmati pemandangan sepanjang jengkal perjalanan
adalah sebuah ekstase tersendiri. Dan di penerbangan pertama sekaligus
kesempatan kedua ke Solo ini kubisa sedikit mengintip awan berarak di langit
yang nampak begitu dekat.
“Sugeng Rawuh” adalah sebuah frase hangat yang serasa disuguhkan
manakala tiba di kota ini. Dengan tas carrier
di punggung, tibalah kemudian di sebuah hotel di daerah Kra yang langsung menebarkan aroma
keramahan. Pun diiringi gendhing Jawa mengalun terdengar di seluruh penjuru
ruang. Nyaman dan damai. Sebuah kesan mendalam selalu terasa acapkali mendengar
alun musik khas Jawa ini.
Jasad ini berlalu lalang di area itu, tapi jiwa dan pikiran ini sudah
tertuju pada suatu tempat nan tinggi: Puncak Gunung Lawu. Pendakian ini adalah
pendakian pertamaku, dibersamai rekan seprofesi yang punya satu misi, ditambah
dengan teman baru dari Jawa Timur jua yang berjiwa petualang-pendaki luar
biasa.
Keesokan pagi, kaki melangkah ke luar pelataran, menyaksikan cercah kecerahan
Solo. Anak-anak manusia ini memulai petualangan menuju Tirtonadi, berlanjut
Tawangmangu, hingga menuju satu titik di tempat yang tinggi di Puncak Lawu.
Dalam perjalanan, bertemulah dengan wajah-wajah penduduk yang bersenyum ramah, bersapa lembut sehalus bahasa krama inggil yang selalu terdengar santun, termasuk berjumpa dengan 5 orang mahasiswa asal Yogyakarta yang mengingatkan
pada kisah 5 sahabat dalam sebuah novel yang akhirnya difilmkan. Seru.
Awal yang indah. Sembari makan siang di warung lesehan untuk menyiapkan
energi, kepala ini terdongak, hati pun berdecak kagum memandangi karya indah
yang terdampar di depan mata meski masih jauh terjangkau. Lantas kami memanasi
otot-otot kaki yang serasa tak sabar untuk mendaki. Nafas pun bertata
bersesuaian dengan hembus angin yang menyambut erat. Tak lupa, hati menunduk
seraya berdo’a.
Sambutan penantang jiwa |
Sambil menuruti langkah kaki, diiringi tarian burung yang seakan
menunjukkan jalan, kami pun dengan terpana memandangi edelweis yang tumbuh
dengan cantik, awan yang berarak memberi semangat, langit biru yang memberi
keteduhan mata selalu, parade burung elang yang melayang, matahari yang
mengobarkan bara api dalam diri, serta angin yang lembut membelai jiwa dalam
dinginnya suasana alam semesta.
“Setelah kau sampai puncak (Lawu) ini, kau pasti akan ketagihan,” ujar
kawanku.
Ah, bahkan sebelum sampai di sana pun aku sudah ketagihan. Pendakian ini seperti sebuah ekstase yang menyenangkan. Aku sangat suka segitiga, aku suka puncak. Filosofis. Paparan karya Tuhan ini sungguh berhasil menghipnotis dan menjadi candu.
Ah, bahkan sebelum sampai di sana pun aku sudah ketagihan. Pendakian ini seperti sebuah ekstase yang menyenangkan. Aku sangat suka segitiga, aku suka puncak. Filosofis. Paparan karya Tuhan ini sungguh berhasil menghipnotis dan menjadi candu.
Cakrawala dari balik padang edelweis |
Sunset kali ini terasa sempurna. Kumenyaksikannya dari
negeri atas awan dunia, dihiasi lembayung senja menghangatkan jiwa. Silih dan
bergantilah ia dengan purnama. Sajakku.
Sunset di balik negeri atas awan |
Edelweis yang "berkamuflase" |
Sekeliling sudah gelap. Tenda pun telah berdiri. Dan tiga anak manusia
ini pun akhirnya terlelap dalam sanubari menanti pagi.
Lalu menyaksikan mentari bangun dari peraduan mimpi menepati janji. Dia begitu cantik, mempesona insan yang memandang. Puluhan pasang mata yang ada di puncak serentak takjub. Mereka datang dari berbagai penjuru, berkumpul dalam satu titik puncak yang ada di Solo ini. Dalam pancaran hangat sang mentari yang menerobos dinding hati, jiwa sejenak teringat pada baris-baris ayat yang melukiskan keseimbangan alam ini. Dan sontak tertegur betapa tak ada nikmat Tuhan yang dapat kita dustakan. Hingga mata berkaca seiring desah nafas yang terselimuti dinginnya udara pagi.
Lalu menyaksikan mentari bangun dari peraduan mimpi menepati janji. Dia begitu cantik, mempesona insan yang memandang. Puluhan pasang mata yang ada di puncak serentak takjub. Mereka datang dari berbagai penjuru, berkumpul dalam satu titik puncak yang ada di Solo ini. Dalam pancaran hangat sang mentari yang menerobos dinding hati, jiwa sejenak teringat pada baris-baris ayat yang melukiskan keseimbangan alam ini. Dan sontak tertegur betapa tak ada nikmat Tuhan yang dapat kita dustakan. Hingga mata berkaca seiring desah nafas yang terselimuti dinginnya udara pagi.
Luar biasa. Indah sekali meneropong daerah ini, pun saat menuruni sang
Lawu. 3 jam serasa singkat, secepat besok akan bertemu dengan Senin di Jakarta. Perjalanan kaki di Solo ini sangat menyenangkan. Meski jejak tapak kaki itu akan terhapus angin berhembus, dan terlindas roda-roda, tapi kisah indah Solo tak akan pernah lekang oleh zaman. Layaknya seni budaya yang akan terus di-uri-uri agar melestari, kearifan lokal yang melekat dalam sanubari, dan keajaiban alam yang terpatri dalam hati bersama potret yang tertangkap oleh mata -lensa terbaik- yang dicipta oleh Sang Pencipta jagad raya dengan segenap isi dan kemegahannya. Bukan lelah yang menggelayut, tapi semangat barulah yang menggelora dalam nafas yang berhembus. Solo tak hanya terkenal dengan "The Spirit of Java"-nya, tapi juga patut dinobatkan sebagai "The Spirit of Soul": semangat jiwa.
Kala langkah harus kembali |
Menangkap potret alam sebelum pulang |
Minggu sore hari kami sudah berada di Bandara Adi Sumarmo. Dalam moment menunggu boarding, perhatian orang-orang seketika tertuju pada sosok pria luar biasa yang pernah menjadi pemimpin Solo ini. Bapak Joko Widodo. Pak Jokowi serasa menjadi magnet yang menarik kami untuk mendekat. Terasa sekali aura kepemimpinan sahajanya tapi tetap berwibawa. Bahkan selama di Jakarta pun aku tak pernah bertemu beliau. Subjektif sekali menilai beliau? Bagaimana pun beliau adalah orang berpengaruh dan berjasa bagi Solo, pun Jakarta. Bonus. Ini adalah bonus kunjungan ke kota nan ramah dan damai ini.
Bertemu Pak Jokowi : moment tak terduga |
Apa mau dikata, diri ini lantas terbawa burung besi menuju kota
metropolitan lagi, bersama pemimpin Jakarta tempo ini. Dalam hati tergumam
kata,”Aku akan merindukan segenap potret indah kota Solo ini.” Dan bukan sekadar angan. Saat ini keluarga tengah "mengamati" kalender untuk mencari waktu yang tepat ke kota Solo. Menikmati wisata kulner, wisata seni dan budaya, serta wisata alam di sini pasti akan menjadi cerita seru perjalanan selanjutnya. #VisitSolo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar