Terbayang kan betapa susahnya mengenal
mereka satu demi satu, lalu mengingat-ingat rupa ceria mereka, dan belajar
menyatukan mereka dalam satu dua kata, frase, hingga kalimat-kalimat sederhana?
Masih ingat kapan terakhir membaca kata-kata
dengan bibir masih terbata mengeja?
Kadang masih terasa bagaimana lelahnya
berkata-kata sementara tak tahu makna, tapi diri ingin belajar ketahui.
Masih ingat kapan pertama kali belajar
mengenal angka?
Mengenal dari yang biasa, mengerti dari
yang sedikit, menghitung dari yang sederhana, menghitung dari apa yang bisa
dihitung dan terhitung.
Ya, di masa kecil itu, masa yang penuh
dengan pembelajaran. Belajar dari A sampai dengan Z, belajar dari nol sampai
tak hingga, atau tak terdefinisi. Lantas, jari jemari yang lugu belajar
menorehkannya dalam kertas tempat menuang. Benar menjadikan gembira, salah tak
menjadi masalah. Namanya juga belajar.
Sekarang, mereka benar-benar menjadi sosok
yang biasa. Biasa dijumpai dalam lembaran kertas dalam seonggok buku. Biasa diketemukan
dalam monitor komputer, laptop, handphone, termasuk segala jejaring media dan segala
aksesori seputar internet yang mengglobal. Tapi, apakah lantas dengan serta
merta diri menjadi dekat, dan mereka bisa memberi manfaat? Semuanya bergantung
kepada siapa yang ingin menggali makna dalam setiap rangkaian kata.
Apakah semua hanya mampu menjadi penyimak?
Menjadi pasivis yang tak bisa menuangkan makna yang tersimpan dalam dada, tapi
pandai berbicara mengumbar apa yang mereka anggap sebagai sebuah kepandaian,
yang lantas seolah kata-katanya menyirna?
Seiring jari jemari yang melompat di atas tuts
keyboard, hati serasa tertampar dengan perkataan sendiri. Memecah pikiran yang
terasa terbelenggu ragu dan malu, seraya berucap dan bertekad, “Mari belajar
menulis”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar