http://blogs.voices.com/buzz/success.jpg |
“Wah, ini
dia nih calon orang sukses”
Entah sudah
berapa kali aku mendengar rangkaian kata-kata ini. Semakin sering mendengarnya
makin sering pula penasaran dengan ada makna apa di dalam kata sukses yang
mereka nyatakan. Dan aku hanya bisa meng-aamiin-i (karena kedengarannya itu doa),
lantas bertahmid “alhamdulillah” (karena yang patut dipuji hanya Allah).
Setiap manusia
berhak untuk sukses –sukses menurut versi masing-masing-. Bahkan Andrie Wongso pun
memotivasi dengan kalimat “success is my right”. Jadi, kalau ingin
sukses ya “bela hakmu untuk sukses”. Caranya? Ikhtiar (berusaha), melakukan
yang terbaik dari segenap kemampuan, lantas bertawakkal hanya kepada Allah.
Pernah mendengar
kalimat “orang beruntung itu bisa mengalahkan orang pintar”? Jadi, tak harus
pintar untuk menjadi sukses, karena beruntung sudah lebih dari cukup? Bertahun-tahun
kata-kata ini tidak terpatahkan dalam pikiran. Hingga akhirnya bertemu dengan
buku how to master your Habits karya Ust. Felix Y. Siauw. Di dalamnya ada
sebuah kalimat, “Tahukah kita bahwa keberuntungan bukanlah sebuah kejadian acak
dan kebetulan?”
Pernah mendengar
kisah Abdurrahman bin Auf? Seorang sahabat yang kaya raya, yang kemudian
meninggalkan seluruh hartanya dan istrinya, untuk turut berhijrah ke Madinah. Apakah
beliau dengan serta merta menjadi orang termiskin di Madinah lantaran seluruh
kekayaannya ditinggalkan di Makkah? Dengan berbekal ilmu perdagangan,
tatacara perdagangan, sikap mental
pedagang, potensi pasar, diferensiasi, networking, dan semua teknik dagang yang
dikuasai, beliau menjadi pedagang sukses di Madinah dan menjadi orang terkaya. Benar-benar
from zero to hero.
Semakin
usia ini berkurang (bilang saja menua), semakin melihat seberapa banyak mereka
yang menilai bahwa pendidikan,
pekerjaan saat ini, atau (lebih muluknya lagi)
harta saat ini atau yang bakal diraih di kemudian hari merupakan indikator diraihnya
kesuksesan. Dalam konteks ini tak ada maksud sedikitpun untuk memandang sebelah
mata pentingnya pendidikan, tapi sekadar menggarisbawahi bahwa kadang
pengenyaman pendidikan itu tidak serta merta benar-benar mengubah kepribadian
seorang manusia dan kapabilitasnya sehingga menjadi jaminan bertahun lagi dia
akan sukses. Seyogianya, pendidikan menjadi ajang penggemblengan sikap mental
pembelajar, yang kelak akan menjadi pekerja-pekerja hebat dalam bidangnya. Tapi,
kalau sejenak bercermin, apakah kita sudah mempersiapkan diri dan mental, serta
menginterpretasikan dalam kebiasaan-kebiasaan dalam bergulirnya hari yang
kelihatannya datar? Apakah keinginan sukses hanya akan menjadi hiasan di mulut yang
akan lenyap bagai asap? Terlepas dari apapun makna sukses bagi tiap-tiap mata
penglihatnya.
Awamnya,
kesuksesan menjadi tonggak dari kebahagiaan seseorang. Nah kalau dibalik,
kebahagiaan itu menjadi tolok ukur kesuksesan seorang manusia. Bahagia. Sukses.
Bahagia karena sukses melawan hawa nafsunya. Bahagia karena berjuang untuk
senantiasa berjalan di jalan Rabbnya. Bahagia karena sukses mensyukuri setiap
anugerah dan musibah. Bahagia karena sukses mencurahkan segala potensi diri.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menggurui karena penulis masih jauh
dari layak untuk itu. Tulisan ini hanya sekadar tamparan jiwa bagi diri pribadi
yang acap tak sadar diri dalam belajar menyeimbangkan kata ingin dan ikhtiar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar